Rabu, 06 Februari 2013
The Promise of Love - Part 3
Oleh Wong Ngantang - Rabu, Februari 06, 2013 | Cerita Fiksi | 0 comments
Hari ini aku kembali mengunjungi
rumah sakit, rasanya sudah berpuluh-puluh kali aku kesini. Namun
tetap saja kenyataan itu harus kuterima, bahwa semakin hari bukannya
lebih baik, aku malah selalu mendapat kabar jika kanker ini semakin
menyebar keseluruh tubuh.
“Rasanya hari kematianku semakin
dekat saja, Kak.”, ucapku pada Kak Rico yang duduk di sebelahku.
Ia pun sempat melotot marah karena
ucapanku tadi, bagaimana juga Aku adalah adiknya.
“Jangan sembarang bicara Kau ini,
benar-benar bodoh. Yang kau bicarakan selalu saja tentang kematianmu.
Apakah kau tak pernah berfikir bahwa waktumu telah terbuang sia-sia
untuk membicarakan tentang hal itu.”, nasehatnya. Aku bangga punya
kakak seperti kak Rico yang selalu menyemangatiku.
“Jika Kau mati, lalu bagaimana
dengan Rora?” Tanya kak Rico.
Aku tak bisa menjawab pertanyaan
itu. Kak Rico benar, jika aku mati lalu bagaimana dengannya?
Bagaimana jika ia masih terus mencintaiku dan berusaha mencariku?
“Malah ngelamun....”, tegur kak
Rico.
“Semoga dia bisa melupakanku
kak.”, kataku singkat.
“Apa? Melupakanmu? Semudah itu
Kamu bilang melupakan? Aku tau Rora sangat menyayangimu, dia tak
mungkin bisa melupakanmu.”, terangnya.
Dengan berapi-api aku masih terdiam,
lalu Kak Rico beranjak keluar. Entahlah, aku pun bingung setiap kali
berbicara menyangkut Rora. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Aku terbangun ketika seorang
suster menyapaku. Setelah tiga hari berada di Ruang ICU, sekarang aku
diperbolehkan pulang walau keadaanku sedikit pun tak lebih baik.
Tapi dokter mengijinkanku untuk menikmati indahnya dunia sebelum aku
benar-benar harus dirawat di tempat ini untuk terakhir kali menjelang
kematianku nanti.
Saat itu Aku dan Kak Rico sedang
mengurus admistrasi selama aku dirawat di sini. Entah kenapa aku
langsung teringat Rora. Firasatku mengatakan Rora ada disini. Akupun
melihat sekelilingku, semoga firasatku salah. Memang aku sangat
merindukannya, tapi aku tak ingin mengingkari janjiku sendiri. Aku
akan lebih bahagia meninggalkannya tanpa melihatnya menangis karena
aku tak mampu melihatnya menangis. Ketika keluar dari rumah sakit aku
tak sempat melihat sekelilingku. Semoga saja aku tak bertemu Rora dan
firasatku itu salah.
------------------------------------------------------
Selama tiga hari ini aku selalu di
rumah sakit. Keadaan Benny masih belum menunjukkan adanya kemajuan.
Kulihat Mama dan Papa sangat khawatir dengan kondisi Benny.
Pagi pukul sembilan, aku baru saja
melaksanakan sholat dhuha di masjid yang berada di depan rumah sakit.
Saat aku di pintu masjid, aku seakan melihat Aldy bersama kak Rico
keluar dari rumah sakit tempat Benny dirawat. Untuk apa Aldy di sini?
Apakah kak Rico sedang sakit sehingga dia di sini? Atau malah....???
Aku benar-benar heran, tadi aku
benar-benar melihat Aldy. Jika memang benar dia, aku ingin sekali
bertemu dengannya. Entahlah, perasaan benciku padanya tak mampu
menutupi rasa sayangku padanya.
Dengan penasaran aku segera menuju
resepsionis dan mencari tahu tentang Aldy. Aku pun bertanya kepada
salah satu petugas resepsionis.
“Apakah benar ada pasien yang
bernama Revaldi?”, tanyaku.
“Mohon tunggu sebentar ya mbak,
saya lihat dulu dalam daftar pasien.”, jawab sang resepsionis.
Jantungku pun berdetak sangat
kencang menunggu kebenaran dari fellingku.
“Maaf mbak, tidak ada pasien yang
bernama Revaldy.” Kata Resepsionis membuatku putus asa.
Barang kali tadi aku telah salah
lihat, tetapi sampai detik ini hatiku terus berkata jika tak lama
lagi aku akan bertemu Aldy di rumah sakit ini.
Aku sangat berharap dapat bertemu
dengan Aldy. Jika aku diberi waktu untuk bertemu dengannya lagi, aku
akan bertanya tentang perasaannya untukku. Kalau memang Dia telah
melupakanku dan tak lagi sayang padaku, aku pun akan melakukan hal
yang sama. Tanpanya aku masih bisa hidup.
--------------------------------------------------
Hari demi hari kulewati tanpa
semangat, hari kematianku tak dapat ditebak. Yang jelas hari itu
semakin dekat. Entahlah, akhir-akhir ini ada fikiran yang mengganjal.
Namun aku tak bisa memecahkan fikiran itu. Kepalaku selalu sakit jika
aku mencoba mengungkap fikiran itu. Dorongan hatiku selalu berkata
aku harus melakukan sesuatu sebelum aku pergi untuk selamanya. Dan
baru aku sadari ini semua tentang Rora. Apa yang harus kulakukan
untuk Rora? Apa?
Hingga pada suatu hari, aku pun
memutuskan untuk menyatakan segalanya lewat sesutu yang akan mampu
membuat Rora tersenyum. Aku tahu, detik berikutnya aku telah berada
di kamarku. Di depanku ada handycam yang akan merekam segala yang
kuucapkan. Segala penyesalanku, permintaan maafku dan semua
penjelasan tentang kepergianku. Setelah itu kuambil gitar,dan
kunyanyikan sebuah lagu yang mewakili perasaanku.
“Aku tak ingin Kau menangis
bersedih sudahi air mata darimu....
Yang aku ingin arti hadir diriku kan
menghapus dukamu sayang....
Karena bagiku, Kau kehormatanku
dengarkan...dengarkan Aku....
Hanya satu pintaku untukmu dan
hidupmu, baik-baik sayang ada aku untukmu....
Hanya satu pintaku di siang dan
malammu, baik-baik sayang karena aku untukmu....”
“Rora ini lagu khusus buat Kamu,
semoga Kamu mau dengerin
Kau jaga selalu hatimu saat jauh
dariku, aku takkan kembali...
Ku mencintaimu selalu, menyayangimu
sampai akhir menutup mata..
Aku memang sengaja mengganti lirik
“tunggu Aku kembali” menjadi “Aku takkan kembali”, karena
kenyataannya akan seperti itu. Namun ditengah-tengah aku menyanyikan
lagu itu, tiba-tiba kepalaku pening. Sakiiiit sekali.....
Saat aku berusaha mengambil air
minum di atas meja, aku tak sanggup. Aku menyenggol gelas itu hingga
terjatuh dan pecah. Suara pecahan gelas itu pun mengundang kak Rico
untuk masuk ke kamarku. Disaat keadaanku seperti ini, hanya satu
keinginanku, bertemu dan melihat senyuman Rora. Aku pun teringat akan
handycam, aku meminta kak Rico mengambilkan kaset itu untukku.
Setelah itu kugenggam erat-erat kaset itu. Ku berharap aku masih
punya waktu untuk memberikannya ke Rora. Aku pun tak sadarkan diri.
Di perjalanan menuju rumah sakit,
aku tak bisa ingat apa-apa. Aku tersadar ketika aku terbaring di
ranjang yang didorong oleh suster menuju ruang UGD. Kak Rico terlihat
sangat cemas akan keadaanku. Ya, munkin ini adalah pertanda akhir
waktuku. Sejak dua hari yang lalu kangker otak yang kuderita telah
berada di stadium empat. Sudah tidak ada harapan lagi untukku, akupun
pasrah jika harus pergi sekarang. Tiba-tiba saja kulihat sekelebat
wajah Rora. Awalnya kufikir hanya halusinasi, namun ternyata itu
semua benar-benar terjadi. Aku bertemu Rora, saat melihatku terbaring
kesakitan kulihat wajahnya bingung dan cemas. Sebelum sampai di UGD
ternyata Rora mengejarku. Aku hanya mampu menggenggam tangannya,
hingga kami harus terpisah ketika aku memasuki ruang UGD.
Bersambung >>
Related Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: