Hatiku benar-benar kacau hingga aku
tak mampu berpikir jernih. Tiga jam yang lalu aku telah menyakiti
seorang gadis yang aku sayang. Namun sudah hampir setahun ini aku
memilih pergi darinya. Dia adalah Aurora, gadis desa yang telah
mejadi pilihan hatiku. Aku terpaksa meninggalkannya dengan alasan
yang tak mungkin kukatakan padanya.
Tiga jam yang lalu, aku datang dari
Malang menuju sebuah jembatan di kecamatan Ngantang. Di situ Rora
telah lama menungguku, sejujurnya Aku telah lama sangat rindu
padanya, tetapi apa boleh buat ini adalah yang terbaik untuknya. Apa
untungnya Dia bersama seorang cowok yang tak punya kesempatan hidup?
Karena masa depannya telah terenggut oleh penyakit yang sudah pasti
akan membawanya ke alam lain. Kanker otak stadium dua, penyakit itu
telah menggerogoti hidupku. Saat itu juga aku memutuskan untuk
mengakhiri hubunganku dengannya. Kulihat Ia meneteskan air mata
ketika Aku akan pergi dan seakan dia ingin berkata JANGAN PERGI!
Tapi Aku tetap pergi. Memang sulit untuk melakukan ini, sebenarnya
aku pun tidak ingin melihatnya seperti itu. Dia sakit hati karena
aku.
Dengan pikiran yang melayang
menelusuri seluruh memori otakku, aku masih mengendarai motorku
dengan kecepatan yang cukup tinggi. Entahlah, apa yang aku pikirkan
aku pun tak tahu.
Ketika sampai di Malang, aku merasa
kepalaku mulai pening. Kutahan hingga aku masuk kamar tidurku. Rasa
sakit itu semakin menjadi-jadi dan menyiksaku. Di saat seperti ini
hanya satu yang ada dalam pikiranku. Rora... aku selalu teringat
padanya. Dengan sekuat tenaga aku coba meraih lemari kecil di sebelah
tempat tidurku. Kubuka pintunya lalu kucari benda itu hingga aku
menemukan sebuah foto. Fotoku bersama Rora ketika aku berlibur
bersamanya di Waduk Selorejo. Di foto itu kulihat senyum yang sangat
kurindukan.
Kepalaku semakin pening, semakin
sakit dan semakin sakit. Akupun tak sadarkan diri. Kak Rico pun
membawaku kerumah sakit. Hingga empat jam kemudian aku mulai sadar,
kurasakan nyeri yang amat sangat di kepala belakangku. Kusadari aku
dirumah sakit, ketika ku buka mata kulihat seorang laki-laki yang
usianya tiga tahun lebih tua dariku duduk di sebelah tempat tidurku.
Dialah kak Rico, satu-satunya keluargaku yang tersisa. Ayah dan ibuku
telah tiada ketika aku berumur tiga belas tahun, dan selama ini aku
hanya hidup bersama kak Rico di rumah peninggalan orang tua kami.
Kak Rico selalu menjagaku, terlebih
ketika salah seorang dokter nemvonisku terkena kanker otak setahun
yang lalu. Kak Rico kuliah di sebuah Universitas di Malang, sedangkan
aku kini duduk dikelas satu SMA di Malang. Aku beruntung memiliki kak
Rico.
-------------------------------------
Setelah hampir empat jam aku di
jembatan ini, akhirnya kuputuskan untuk pergi. Namun aku tidak ingin
segera pulang, aku mampir ke rumah Via, salah satu sahabatku. Dia
yang selalu mengerti aku.
Sampai di rumahnya, aku pun
menceritakan semua yang terjadi. Semua tentang Aldy, hingga air
mataku bercucuran. Ya, aku menangis karena sakit hati. Hingga malam
menjelang, aku masih disana. Semua tangisku masih terus mengalir.
Bersama tangis dan luka ini, aku teringat sebuah kejadian ketika Aku
bersama Aldy.
Semua sakitku kini semakin
mendalam. Lebih dalam dari rasa cintaku padanya. Dua tahun yang lalu,
aku sedang berjalan bersama Aldy. Karena tak melihat jalan aku hampir
tertabrak motor. Namun Aldy tak diam saja, dia menyelamatkanku
sampai-sampai dia yang tertabrak dan dilarikan ke rumah sakit. Saat
aku menangisi keadaannya, dia malah tersenyum dan menghapus air
mataku.
“Sudahlah jangan menangis, lebih
baik aku mati dari pada melihatmu menangis.”, katanya sambil
menghapus air mata di pipiku.
“Kamu jahat, rasanya copot
jantungku gara-gara Kamu.”, celaku memukul lengannya dengan manja.
“Haha...tapi janji ya jangan
nangis? Aku bakal ada buat Kamu.”, katanya lagi.
“Hmmm... janji ya jangan tinggalin
Aku ?”, tantangku.
“Iya,Rora sayaaang...”, katanya
saat itu
Ini benar-benar tak pernah kuduga,
kenangan itu benar-benar melekat di tanganku. Dia pun sempat
mengulang kata-katanya di waktu yang lain.
“Lebih baik aku mati daripada
melihatmu menangis.”, kata-katanya itu selalu terngiang di
telingaku. Kututup telingaku, namun rasanya suara itu masih terus
membisikkan kata-katanya.
------------------------------------------------------
Hari berganti hari,
aku memang masih di sini. Sejak tiga bulan yang lalu aku tak mau
pergi ke jembatan itu lagi. Aku selalu kembali menangis jika teringat
semua yang telah terjadi. Jujur saja aku memang tidak bisa menghapus
perasaanku kepada Aldy, tapi setidaknya aku sedikit mampu
melupakannya dengan caraku sendiri.
Pukul tiga aku pulang
dari sekolah, aku terkejut sekali melihat keadaan rumah yang tanpa
penghuni. Tak ada Benny, tak ada Mama dan juga tak ada Papa. Kemana
mereka semua? Aku benar-benar bingung, tiba-tiba saja telepon rumah
berdering. Aku segera mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum,
Rora ini kamu kan?” Tanya suara dari telepon yang ternyata adalah
Mama.
“Wa’alaikusalam,
iya Ma ini Rora. Kenapa di rumah sepi sekali Ma?” Tanyaku segera.
“Benny masuk rumah
sakit, dia kena DBD. Sekarang Papa pulang buat jemput Kamu, tolong
bawakan baju ganti buat Benny ya.” Terang Mama membuatku sangat
shock.
“Ya Allah, ada apa
dengan Benny?” Keluhku tak percaya.
Benny adalah adikku
satu-satunya, dia berumur tujuh tahun. Aku sangat menyayanginya.
Lamunanku pun buyar karena ketukan pintu, itu pasti Papa. Aku pun
segera membuka pintu dan bersiap-siap untuk menyusul Mama di rumah
sakit. Aku sangat khawatir dengan keadaan Benny.
0 komentar: