Rabu, 30 Januari 2013

The Promise of Love - Part 2

Oleh Wong Ngantang - Rabu, Januari 30, 2013 | 0 comments


 Hatiku benar-benar kacau hingga aku tak mampu berpikir jernih. Tiga jam yang lalu aku telah menyakiti seorang gadis yang aku sayang. Namun sudah hampir setahun ini aku memilih pergi darinya. Dia adalah Aurora, gadis desa yang telah mejadi pilihan hatiku. Aku terpaksa meninggalkannya dengan alasan yang tak mungkin kukatakan padanya.
Tiga jam yang lalu, aku datang dari Malang menuju sebuah jembatan di kecamatan Ngantang. Di situ Rora telah lama menungguku, sejujurnya Aku telah lama sangat rindu padanya, tetapi apa boleh buat ini adalah yang terbaik untuknya. Apa untungnya Dia bersama seorang cowok yang tak punya kesempatan hidup? Karena masa depannya telah terenggut oleh penyakit yang sudah pasti akan membawanya ke alam lain. Kanker otak stadium dua, penyakit itu telah menggerogoti hidupku. Saat itu juga aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Kulihat Ia meneteskan air mata ketika Aku akan pergi dan seakan dia ingin berkata JANGAN PERGI! Tapi Aku tetap pergi. Memang sulit untuk melakukan ini, sebenarnya aku pun tidak ingin melihatnya seperti itu. Dia sakit hati karena aku.
Dengan pikiran yang melayang menelusuri seluruh memori otakku, aku masih mengendarai motorku dengan kecepatan yang cukup tinggi. Entahlah, apa yang aku pikirkan aku pun tak tahu.
Ketika sampai di Malang, aku merasa kepalaku mulai pening. Kutahan hingga aku masuk kamar tidurku. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi dan menyiksaku. Di saat seperti ini hanya satu yang ada dalam pikiranku. Rora... aku selalu teringat padanya. Dengan sekuat tenaga aku coba meraih lemari kecil di sebelah tempat tidurku. Kubuka pintunya lalu kucari benda itu hingga aku menemukan sebuah foto. Fotoku bersama Rora ketika aku berlibur bersamanya di Waduk Selorejo. Di foto itu kulihat senyum yang sangat kurindukan.

Kepalaku semakin pening, semakin sakit dan semakin sakit. Akupun tak sadarkan diri. Kak Rico pun membawaku kerumah sakit. Hingga empat jam kemudian aku mulai sadar, kurasakan nyeri yang amat sangat di kepala belakangku. Kusadari aku dirumah sakit, ketika ku buka mata kulihat seorang laki-laki yang usianya tiga tahun lebih tua dariku duduk di sebelah tempat tidurku. Dialah kak Rico, satu-satunya keluargaku yang tersisa. Ayah dan ibuku telah tiada ketika aku berumur tiga belas tahun, dan selama ini aku hanya hidup bersama kak Rico di rumah peninggalan orang tua kami.
Kak Rico selalu menjagaku, terlebih ketika salah seorang dokter nemvonisku terkena kanker otak setahun yang lalu. Kak Rico kuliah di sebuah Universitas di Malang, sedangkan aku kini duduk dikelas satu SMA di Malang. Aku beruntung memiliki kak Rico.

-------------------------------------

Setelah hampir empat jam aku di jembatan ini, akhirnya kuputuskan untuk pergi. Namun aku tidak ingin segera pulang, aku mampir ke rumah Via, salah satu sahabatku. Dia yang selalu mengerti aku.
Sampai di rumahnya, aku pun menceritakan semua yang terjadi. Semua tentang Aldy, hingga air mataku bercucuran. Ya, aku menangis karena sakit hati. Hingga malam menjelang, aku masih disana. Semua tangisku masih terus mengalir. Bersama tangis dan luka ini, aku teringat sebuah kejadian ketika Aku bersama Aldy.
Semua sakitku kini semakin mendalam. Lebih dalam dari rasa cintaku padanya. Dua tahun yang lalu, aku sedang berjalan bersama Aldy. Karena tak melihat jalan aku hampir tertabrak motor. Namun Aldy tak diam saja, dia menyelamatkanku sampai-sampai dia yang tertabrak dan dilarikan ke rumah sakit. Saat aku menangisi keadaannya, dia malah tersenyum dan menghapus air mataku.
“Sudahlah jangan menangis, lebih baik aku mati dari pada melihatmu menangis.”, katanya sambil menghapus air mata di pipiku.
“Kamu jahat, rasanya copot jantungku gara-gara Kamu.”, celaku memukul lengannya dengan manja.
“Haha...tapi janji ya jangan nangis? Aku bakal ada buat Kamu.”, katanya lagi.
“Hmmm... janji ya jangan tinggalin Aku ?”, tantangku.
“Iya,Rora sayaaang...”, katanya saat itu
Ini benar-benar tak pernah kuduga, kenangan itu benar-benar melekat di tanganku. Dia pun sempat mengulang kata-katanya di waktu yang lain.
“Lebih baik aku mati daripada melihatmu menangis.”, kata-katanya itu selalu terngiang di telingaku. Kututup telingaku, namun rasanya suara itu masih terus membisikkan kata-katanya.

------------------------------------------------------

Hari berganti hari, aku memang masih di sini. Sejak tiga bulan yang lalu aku tak mau pergi ke jembatan itu lagi. Aku selalu kembali menangis jika teringat semua yang telah terjadi. Jujur saja aku memang tidak bisa menghapus perasaanku kepada Aldy, tapi setidaknya aku sedikit mampu melupakannya dengan caraku sendiri.
Pukul tiga aku pulang dari sekolah, aku terkejut sekali melihat keadaan rumah yang tanpa penghuni. Tak ada Benny, tak ada Mama dan juga tak ada Papa. Kemana mereka semua? Aku benar-benar bingung, tiba-tiba saja telepon rumah berdering. Aku segera mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum, Rora ini kamu kan?” Tanya suara dari telepon yang ternyata adalah Mama.
“Wa’alaikusalam, iya Ma ini Rora. Kenapa di rumah sepi sekali Ma?” Tanyaku segera.
“Benny masuk rumah sakit, dia kena DBD. Sekarang Papa pulang buat jemput Kamu, tolong bawakan baju ganti buat Benny ya.” Terang Mama membuatku sangat shock.
“Ya Allah, ada apa dengan Benny?” Keluhku tak percaya.
Benny adalah adikku satu-satunya, dia berumur tujuh tahun. Aku sangat menyayanginya. Lamunanku pun buyar karena ketukan pintu, itu pasti Papa. Aku pun segera membuka pintu dan bersiap-siap untuk menyusul Mama di rumah sakit. Aku sangat khawatir dengan keadaan Benny.

Related Post



0 komentar:

Blogger Template by Clairvo