Rabu, 06 Maret 2013
I Love You, Om - Part 3 - Ending
Oleh Wong Ngantang - Rabu, Maret 06, 2013 | Cerita Fiksi | 0 comments
<< Part 2
Persidangan yang lancar
berhasil menyeret Om Sulthan kepenjara. Di persidangan, ada beberapa
saksi yang memberatkan Om Sulthan yaitu Dini, 3 karyawan mama, serta
Om Bagas. Hmm, pantas saja saat persidangan Om Bagas tidak menjadi
tim pengacara Bu Ratih.
Rasa syukur kami, membuat mama
berniat mengadakan syukuran kecil-kecilan di restoran cinaku. Mama
mengundang beberapa rekan bisnis, keluarga dekat serta Bu Ratih dan
tim pengacara. Keadaan restoran pun sudah kembali normal, paling
tidak dengan kembalinya Dini.
Cuisine,
my chinese restaurant
“Lagian
lo kenapa sih, pake acara ngabur segala, Din?” kami ngobrol di
restoran sambil nyiapin acara syukuran nanti malam.
“Saat
itu gue panik banget, Ren sumpah! Soalnya dia ngancam buat ngebunuh
gue bahkan keluarga gue!”
“Kok
lo tiba-tiba berubah pikiran trus dateng ke rumah?”, tanyaku
penasaran
“Jadi
waktu itu, gue sempet ketemu temen Dimas. Siapa tuh namanya? Bagas,
kalo gak salah”
“Oh,
om Bagas. Kenapa dia?”
“Gue
gak sengaja gitu ketemu dia di mall. Waktu gue mencoba kabur, eh
ketahuan duluan sama Bagas. Akhirnya dia ngajak gue ngobrol
baik-baik. Bagas juga bilang kalo Sulthan udah ketangkep, Cuma belum
bisa diproses ke persidangan karena belum ada saksi tentang kematian
Dimas. Nah, mendengar Sulthan udah ketangkep gue merasa lega, karena
gak mungkin dong dia neror2 gue lagi. Di situ, gue ceritain semua
yang gue tau. Bagas juga nyaranin gue ke kantor polisi, tapi dasar
guenya yang takut, akhirnya gue mutusin ngomong ke lo dulu”
Aku
mengangguk-angguk mendengar penjelasan Dini. Om Bagas baik juga ya.
Bukan Cuma baik deh, tapi segitunya banget. Padahal dia kan Cuma
rekan bisnis papa yang kebetulan jadi tim pengacara. Itu juga pada
akhirnya dia jadi saksi, bukan tim pengacara yang di bayar. Ah, bodo
amat lah!
“Woi,
nglamun lo ya!”, Dini membuyarkan lamunanku “Eh Ren, kok lo
manggil Bagas, om sih? Ga salah lo? Dia belum om-om banget kali,
Ren!”
“Maksud
lo?”
“Iya.
masak cowok imut2 gitu dipanggil om? Kebangetan lo, ah! Lihat deh
penampilannya, lo gak merhatiin apa? jangan2 semenjak lo putus dari
Samy, lo jadi buta sama cowok? Hahaha...”, Dini ngomong gak karuan.
Hmmm,
tapi bener juga apa yang Dini bilang. Terakhir ketemu di pengadilan,
Om Bagas gak kelihatan seperti om-om pada umumnya. Dewasa sih iya!
Keren, bersahaja. Tapi gak mungkin ah! Om Bagas kan emang orangnya
ramah, suka senyum2, jadi itu yang bikin dia kelihatan lebih muda
dari usianya.
-------------------------------
Acara syukuran di restoranku
berlagsung lancar dan semua undangan datang. Om Bagas pun, entah
diminta mama atau inisiatifnya sendiri, hadir sebagai MC. om Bagas
yang saat itu memakai kaos putih dengan setelan jas semi formal warna
metalik ditambah celana jins, membuat penampilannya terlihat santai
tapi keren.
“Masakannya
lumayan” kata seseorang dibelakangku saat acara makan malam
berlangsung. Aku menoleh. Om Bagas. Astaga! Bener kata Dini. cowok di
depanku ini terlalu muda untuk dipanggil om. “Kamu yang masak?”,
senyum di bibirnya tak pernah ketinggalan.
“Eh,
om.. “, aku membalas senyumnya. “Sebagian aja. Tapi yang ini
bukan” kataku sambil menunjuk makanan yang Om Bagas makan.
“Mana
dong masakan kamu? Ini?”, tanya om Bagas sambil mengambil Beijing
kaoya alias bebek peking.
“Bukan.
Coba ini”, kataku sambil mengambilkan beberapa Jiaozi, makanan
ringan sejenis siomay. Dimakannya Jiaozi satu-persatu dan... tidak
tahu bagaimana awalnya, kami pun duduk berdua sambil menikmati
makanan.
“Tante
mana, Om? Kok gak ikut?”, tanyaku
“Ada
di rumah. Beliau istirahat” wah, sopan sekali om Bagas. Istrinya
saja dipanggil beliau.
“Anak-anak gak diajak?” Om
Bagas menggeleng. “Aku belum punya anak, Rena”. Oh, jadi om Bagas
belum punya anak, kasihan. Aku merasa bersalah dengan pertanyaan
terakhirku. Aku pun buru-buru mencari pertanyaan lain untuk
mengalihkan suasana yang tiba-tiba tidak enak. “Oya, tante sehat2
aja kan, om?” tanyaku sok akrab.
“tidak
begitu sehat. namanya juga wanita usia lanjut, jadi harus banyak
istirahat”. Hah, usia lanjut? Aku yang salah denger apa Om Bagas
yang salah ngomong?
“Kok
heran gitu, ada yang salah ya, Ren?”, Om Bagas ikut bingung melihat
ekspresi wajahku “Ibuku memang harus sering istirahat, gak bisa di
ajak ke acara-acara begini” Loh, ngobrol apa sih ini, kok lama-lama
gak nyambung!
“Kok
masih bengong! Yang kamu maksud tante itu, ibu aku kan?” Aku masih
diam. Aku jadi semakin bingung dengan apa yang diucapkan Om Bagas.
“Tunggu
deh, jangan2 kamu nyangka aku udah menikah ya? hahaha!!”. Oh God,
Jadi om Bagas BELUM MENIKAH! Aku meratapi kebodohanku yang sok tahu.
Pantas saja, dalam setiap acara yang aku tahu, Om Bagas tidak pernah
mengajak wanita apalagi anak kecil. Om Bagas yang tahu aku begitu
malu dengan kejadian tadi, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
“Restoran
kamu nyaman, unik dan kelihatan.....”
“Kelihatan
luas, kan?” aku memotong komentar om Bagas. Om Bagas tersenyum,
setuju dengan kalimatku. Aku sadar bahwa restoranku tidak terlalu
luas, jadi aku sengaja menambahkan cermin di beberapa sudut ruang
agar terlihat lebar.
“Kreatif!”
tambahnya
“Om
Bagas juga multi talent. Om Selain bisnisman, seorang pengacara, juga
bakat jadi MC!”, Oh my GOd, ngomong apa aku barusan! Tuh kan, dia
jadi senyum-senyum.
Acara ngobrol kami pun
akhirnya diisi dengan saling memuji. Dan yang lebih aneh, cara
ngomongku dengan om Bagas gak pake bahasa elo-gue tapi berubah
menjadi aku-kamu. Apakah ini?
“Ren,
kayaknya kamu gak perlu ikut-ikutan Dimas buat panggil aku ‘om,
deh”
“Maksud
om, eh?”
“Yah,
aku ngrasa risih aja lama-lama denger kamu panggil aku om?”,
sepertinya kalimat ini mengandung arti tertentu.
Ruang
Tamu. ‘Wasiat’ Papa
“Apa
ma?? Jadi Om Bagas baru 34 tahun?”, Aku kaget mendengar kata-kata
mama. Itu artinya usia kita terpaut 7 tahun.
“tuh
kan, Ren. Apa gue bilang. Masih cocok dijadiin suami, hihihi!”,
Dini menggodaku
“Diem
lo, Din!”, sebuah bantal meluncur ke arah Dini. mama mengangguk
santai.
“Trus
kenapa Dimas suka manggil dia ‘om? Mama juga manggil dia ‘dik?”,
tanyaku masih gak ngerti.
“Itu
karena kebiasaan almarhum papa kamu. Papa itu kalau saking akrabnya
dengan rekan kerja, sering manggil ‘mas atau ‘dik untuk orang
yang lebih muda. Namanya juga orang jawa, Ren”
“Iya
ma, tapi kenapa? Masak sesimple itu?”, aku protes
“Iya
sayang, that’s all! Jadi kebiasaan papa kamu itu nular ke mama dan
adikmu. Dimas jadi suka manggil rekan bisnis papa dengan sebutan om”,
jelas mama.
“Mungkin
juga karena Dimas udah akrab banget sama Bagas kali tante?”, Dini
ikut nimbrung
“Terang
aja, CALON KAKAK IPAR...”, nada bicara mama datar tanpa penekanan,
tapi justru terdengar ganjil di telingaku.
“Mak...sud
ma..ma???”
“Sayang,
mungkin ini saatnya mama ngomong sama kamu” kalimat mama berubah
serius. Mama mendekat ke arahku begitu juga Dini.
“Dulu
papa pernah menyampaikan sesuatu ke mama, kalau papa berniat jodohin
kamu sama Bagas. Awalnya mama menolak, tapi saran papamu, mama harus
melihat dulu seperti apa orangnya. Setelah mama kenal, mama pikir
Bagas adalah lelaki yang jujur dan bertanggung jawab. Itu yang
terpenting buat mama. Tapi karena waktu itu kamu masih pacaran sama
Samy dan Papamu gak pernah membahas masalah itu lagi, mama lama-lama
jadi lupa. Tapi tentu saja, untuk lebih jauhnya, mama serahkan sama
kamu. Toh, nanti kamu juga yang menjalani”, mama mengakhiri
kalimatnya dengan pelukan hangat dan kecupan di pipiku.
“Tapi
sepertinya udah gak usah dijodohin lagi, kok tante, hehehe.. kan
mereka udah.. aauu!!”, Dini meringis. Sikuku mengarah tepat ke
perut Dini.
Akhir
tahun, akhir jomblo?
Menjelang natal dan tahun
baru, restoranku ramai pelanggan. Entah karena liburan panjang atau
tutup tahun sehingga tak jarang restoranku dibooking sebagai tempat
meeting perusahaan tertentu. Jadi bulan ini, aku sangat sibuk, bahkan
sibuuuuk sekali. Sibuk memasak, sibuk bereksperimen menu baru, sibuk
ke kantor mama, termasuk sibuk membalas sms dari Om Baa, eh dari Mas
Bagas! Hehe..
Mas
Bagas: “siang
chef cantik ”
Aku:
“siang
om ganteng..”
Mas
Bagas: “kok
om ”
Aku:
“HEHE..
^^”
Mas
Bagas: “sibuk
ga? Take a lunch yuk, aku jmput ya? aq udh otw”
Aku:
“lmyan
rame nih! 30 minute latter, ya..”
Mas
Bagas: “lama
bgt. 5 mnt lgi, oke!”
Aku
belum membalas sms dari Mas Bagas karena masih sibuk menyiapkan menu.
Mas
Bagas: “well,
10mnt lagi deh. aku kangen ”
Yups,
begitulah. Pembicaraanku bulan lalu bersama mama dan Dini tentang
suatu kenyataan bahwa Bagas isn’t ‘uncle’ at all, telah merubah
persepsiku. Persepsi Mas Bagas juga tentunya. Karena sejak itu kita
sering menjalin komunikasi. Sms, telpon, tak jarang Mas Bagas main ke
rumah atau datang ke restoranku. So, what the meaning is? Singkatnya,
kita udah jadian, pacaran. Hmm, lebih tepatnya Bagas melamarku 2 hari
yang lalu dan rencana pernikahan sudah di depan mata. Wish everything
running well, guys!
Selesai
Intan Crystal - ngantang.com
Related Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: