Rabu, 27 Februari 2013

I Love You, Om - Part 2

Oleh Wong Ngantang - Rabu, Februari 27, 2013 | 0 comments



<< Part 1

Bogor, akhir Juli 2012. It’s so complicated
Udara Bogor yang sejuk membuatku bersusah payah untuk bangun. Mengangkat tubuhku dari tempat tidur dan... ah, gagal! Suara kicau burung, ayam dan kegaduhan aktivitas di dapur tak membuatku beranjak. Semakin lama semakin meringkuk. Rasa capekku kali ini sungguh tak tertahan, menumpuk jadi satu, terakumulasi lantas membendung. Akhirnya, bendungan itu harus jebol hari ini.
Dalam kamar, sesuatu telah mengantarkanku pada peristiwa yang telah kualami sebelumnya. Menyelinap masuk begitu saja. Perasaan sesak tak ayal membuat tidurku tak nyenyak kali ini, namun untuk membuka mata rasanya tak sanggup. Hidup segan mati pun tak mampu.
Pintu kamar terdengar berderit terbuka. Suara derap kaki melangkah mendekat. Itu pasti mama. Ada harapan untuk bangun, mama pasti membangunkanku. Ah, masih susah bangun, bahkan menggoyangkan tangan untuk minta bantuan. Hanya mata menyipit tanpa suara dan gerakan. Aku masih memaksa bergerak mencoba keluar dari himpitan, nafasku berat tertahan. Inikah namanya kelindihan.
“Rena sayaaang, bangun yuk!” suara halus mama seketika membuatku tersentak bangun. Mataku terbuka dengan nafas tersengal, keringat dingin mengucur di keningku. Sepertinya aku mimpi maraton.
“Masyaalloh, kenapa kamu sayang?” mama mengusap keningku yang berkeringat.
“Kamu demam, pasti kecapekan. Mama buatin susu, oke?” tawaran yang bagus pikirku, aku mengangguk Lesu.
Akhir-akhir ini aku memang begitu capek. Mengurus restoran sendiri. Dini, manajerku-- yang sebelumnya mengajukan cuti karena ingin menikah, tiba-tiba mengundurkan diri tidak lama setelah Dimas meninggal. Hal ini tentu membuat urusan di restoranku kacau. Disaat aku mengalami kesedihan yang mendalam, tidak punya semangat bekerja, aku harus mengurus manajerial sendiri dan tetap memasak di restoran karena belum menemukan koki sebagai penggantiku. Tapi untunglah assisten koki di restoranku cukup tahu karakter masakan yang kuinginkan, tentu ini yang menjadi ciri khas restoranku.

Dadaku masih bergejolak namun perlahan nafasku mulai teratur. Mataku menerawang ke luar jendela, silau. Matahari sudah setinggi ini rupanya.
“Ini minum dulu, sayang..” Aku kaget, terjaga dalam sadar.
“Terima kasih...”, jawabku singkat. Aku langsung meminum susu itu dengan tegukan secepat mungkin sambil mengarahkan bola mata ke arah mama yang penampilannya telah rapi namun tak bisa menyembunyikan lengkung hitam bawah matanya. Tanda capek yang tak terhingga.
“Mama mau pergi ke kantor Bu Ratih, pengacara mama”. Aku mengangguk. Mama berdiri. Ku arahkan tanganku menjabat tangan mama lantas menciumnya. Sebelum punggung mama lenyap, ku susul dia.
“Ma, tunggu! Rena temenin mama, ya?”
“Kamu gak ke restoran?”, aku menggeleng. Mama memperhatikan penampilanku.
“Kalau begitu kamu perlu ke dokter, sayang. Kamu bisa minta beberapa resep atau vitamin yang bisa membuatmu lebih bergairah untuk selalu menemani mama”, kali ini kedua tangannya mampir ke pipiku, membuatku menatap lurus bola mata mama. Ah, mama. Seharusnya mamalah yang butuh istirahat.
“Rena antar mama, oke! Tunggu sepuluh menit ya ma?”. Hanya dengan menggosok gigi dan cuci muka lantas kuganti bajuku. Aku atur rambutku sedemikian rupa dengan sisir, sret sret! Kuambil kunci mobil dan meluncur..

Kantor Advocate. Kematian Dimas
Perlu 30 menit untuk sampai kantor Bu Ratih. Di ruangan Bu Ratih sudah menunggu 2 orang, sepertinya tim pengacara Bu Ratih. Seorang perempuan berkacamata dan berjilbab yang usianya terlihat lebih muda dari Bu Ratih. Yang laki-laki, sepertinya aku pernah bertemu. Aku menjabat tangan ketiga orang di ruangan itu.
“Kamu pasti Rena, kan?” tanya laki-laki itu. Aku mengangguk.
“Saya Bagas...”, ucapnya sambil tersenyum. Aku menatap mama. “Om Bagas, teman papa” kata mama. Oh, Dimas suka sekali menceritakan orang ini, tapi kenapa dulu Dimas gak cerita kalau orang ini juga seorang pengacara.
Aku dan mama mendengar penjelasan Bu Ratih tentang hasil autopsi dan tes laboratorium jenazah Dimas. Seperti yang dijelaskan Bu Ratih sebelumnya di telpon, bahwa ada kemungkinan Dimas meninggal bukan karena serangan jantung, tapi dibunuh. Kenyataan terpahit yang harus kami terima.
Saat peristiwa itu, aku dan mama yang sedang berada di Singapura mendapat kabar dari pembantu kami bahwa Dimas dibawa ke rumah sakit karena serangan jantung. Dimas memang punya penyakit jantung. Kami yang saat itu tidak mungkin langsung pulang ke Bogor, minta tolong Dini untuk menjenguk Dimas dan mengabarkan kepadaku tentang perkembangannya. Mama sendiri lega karena Om Sulthan juga menemani Dimas di rumah sakit. Namun pembantu kami menambahkan bahwa sempat terjadi adu mulut antara Dimas dan Om Sulthan.
Om Bagas yang saat itu diminta Dimas untuk mampir ke rumah, menjadi saksi dan membenarkan hal tersebut. Om Bagas melihat Dimas keluar kamar sambil membanting pintu sangat keras, lalu keluar rumah menuju mobil. Melihat kejadian itu, Om Bagas menyusul Dimas. Begitu masuk mobil, Om Bagas mendengar Dimas memaki.
“Dasar Brengsek! Bajingan! Gue udah ngira kalo dia..... Argggh!” makian Dimas berhenti, tangannya memegang dadanya erat-erat. Dimas pingsan. Om Bagaslah yang melarikan Dimas ke rumah sakit.
Om Bagas yang juga cukup dekat dengan Dimas karena hubungan bisnis, mengatakan bahwa Dimas pernah bercerita tentang kecurigaannya terhadap Om Sulthan, karena sebelumnya Dimas pernah memergoki om Sulthan mengambil sesuatu dari brankas mama. Dimas yang tahu masalah ini, mencoba menanyakan baik-baik pada mama untuk mengecek surat berharga perusahaan. Mama yang tidak percaya justru memarahi Dimas. Dimas juga berusaha menceritakan kepadaku tapi karena kesibukanku di restoran sehingga kami jarang bertemu. Jadi, Dimas hanya bisa bercerita kepada Om Bagas.
Mama yang akhirnya sadar setelah kematian Dimas, mencoba mengingat-ingat bahwa Om Sulthan juga pernah meminta mama membeli tanah yang cukup luas di Jakarta atas nama Om Sulthan. Bukan hanya sekali. Mama yang sudah terlanjur percaya hanya bisa menuruti tanpa sempat curiga karena mama terlalu sibuk.
“menurutku, kita harus mencari manajer kamu, Ren?” Om Bagas memecah keheningan.
“maksud Om, Dini terlibat?”, tanyaku tak mengerti
“Bukan terlibat secara lagsung, mungkin dia bisa memberi keterangan apapun yang telah terjadi selama dia menjenguk Dimas”. Aku mengerti maksud Om Bagas, karena Dini sering di rumah sakit. Sering bertemu Om Sulthan juga tentunya.
“Pak Bagas benar, Bu”, kata Bu Ratih pada mama.
“Awalnya kami berpikir Dimas diracun, tapi mengingat hasil laboratorium negatif, jadi kemungkinan Dimas dibunuh dengan cara lain”
Dari keterangan mereka, sampai sejauh ini, aku masih belum mengerti mengapa mereka sampai pada kesimpulan bahwa Dimas dibunuh. Aku yang masih belum bisa merangkai semua kejadian itu mencoba bertanya.
Om Bagas menjawab, ”Sehari sebelum Dimas meninggal, aku berada di rumah sakit untuk menjenguknya dan menemui dokter. Dokter bilang, keadaan Dimas sudah stabil dan lusa bisa pulang”.
Benar saja, waktu itu kami yang baru datang dari Singapura dan ingin menjenguk Dimas, terkejut setengah mati ketika pihak rumah sakit memberitahu bahwa Dimas meninggal, padahal sehari sebelumnya Dini mengabarkan bahwa Dimas sudah sehat.
“Kapan manajer kamu mengundurkan diri, Ren?” kali ini Bu Ratih bertanya
Seingatku sehari setelah kematian Dimas. Deg! Jantungku berdetak lebih keras. Pengunduran diri Dini memang terkesan mendadak dan ganjil. Saat mengundurkan diri ia tidak datang ke kantor melainkan via telpon. sampai sekarang Dini tak bisa kuhubungi.
Setelah perbincangan kami di kantor bu Ratih, mama lebih sering termenung. Entahlah apa yang saat ini mama pikirkan. Aku tak berani menanyakan. Mungkin mama sedang menyesali sesuatu, ketidakpercayaannya terhadap Dimas. Aku sendiri, jangan ditanya bagaimana benciku pada Om Sulthan. Orang yang aku kira telah menggantikan sosok papa ternyata berencana licik. Menggondol hampir separuh harta kami dan lari entah kemana. Aku menjadi tahu apa yang mama rasakan saat ini. Ternyata pernikahannya dengan mama hanya kedok, karena terakhir dikatahui perusahaan Om Sulthan sendiri telah kolaps. Aku ingin bajingan itu ditemukan dan mengembalikan semua harta papa. Lebih dari itu, dia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya pada Dimas.

Kamar rumahku
Drrtttt drrrttt.. Hpku bergetar. 1 pesan masuk.
“Rena, udh dpt kbr dr Dini? .Bagas”
oh, sms dari om Bagas. Segera kubalas.
“blm ada kbr om, No’nya gak aktif. Aq udh krmhnya tpi ksg”
OmBagas: “sbar y Rena  Oya, aku dr kntor plisi. Bsk mama km dihrp ke kntor plisi untk lporn sklgs mmbri kterangan ttg srt2 prshaan”
Aku: “baik om, terima kasih om.”
omBagas: “kalo ada apa2 jgn sgkan hbgi aku..”
aku: “baik om, sekali lagi terima kasih”
omBagas: “jgn formal gitu dong ren sama aku ”
Segera aku ke kamar mama, menyampaikan pesan Om Bagas. Ternyata mama sudah tahu dari Bu Ratih. Aku membantu mama menyiapkan dokumen yang perlu dibawa ke kantor polisi. Sejauh ini, bukti-bukti bahwa Om Sulthan kabur membawa surat berharga dan sejumlah uang telah lengkap. Hanya bukti bahwa dia juga pembunuh Dimas belumlah cukup. Semua perlu dibuktikan dengan adanya saksi walaupun semua dugaan mengarah padanya.
“ma...” kataku lirih sambil memeluk mama dari belakang. “maafin Rena ya, ma..”
“maaf buat apa, sayang” mama membalikkan tubuhnya ganti memeluk aku, hangat.
“Rena gak bisa jadi anak yang baik buat mama dan kakak yang baik buat Dimas” tangisku tersembunyi di dada mama. Mama membelai kepalaku, seolah mengatakan agar aku tenang.

2 minggu berselang. I think, one step closer
Merasa frustasi untuk menemukan Dini yang menurut Bu Ratih menjadi saksi kunci atas terbunuhnya Dimas, aku dan mama hanya bisa berdoa agar masalah ini diperlancar. Syukurlah, Tuhan mengabulkan doa kami. Mendengar pintu rumah diketuk, aku segera membukanya. Dini berada di depan pintu rumahku. tiba-tiba dia merangkulku dan menangis. Setelah meminta maaf padaku dan mama, dia mengatakan maksud kedatangannya yaitu untuk memberi keterangan perihal kematian Dimas.
Saat itu, Dini berada di rumah sakit menjenguk Dimas. Karena Dimas masih tidur, dia pun memutuskan untuk pergi ke kantin rumah sakit. Sesampainya dari kantin, Dini melihat dua orang berada di dalam kamar Dimas, satu orang sedang memegang kedua tangan Dimas dengan kuat dan satu orang lainnya, yang ternyata adalah Om Sulthan, membekap Dimas dengan bantal hingga Dimas kekurangan oksigen dan meninggal. Dini mencoba berteriak mencari bantuan, tapi keburu ketahuan Om Sulthan. Om Sulthan memberi Dini cek dengan sejumlah uang agar dia tidak melaporkan masalah ini ke polisi. Namun Dini keluar dari pekerjaan dan menghilang bukan karena cek tersebut, tapi karena Om Sulthan terus menerus meneror dan mengancam akan membunuhnya.

Bersambung >>

Related Post



0 komentar:

Blogger Template by Clairvo