Rabu, 27 Februari 2013
<< Part 1
Udara Bogor yang sejuk
membuatku bersusah payah untuk bangun. Mengangkat tubuhku dari
tempat tidur dan... ah, gagal! Suara kicau burung, ayam dan kegaduhan
aktivitas di dapur tak membuatku beranjak. Semakin lama semakin
meringkuk. Rasa capekku kali ini sungguh tak tertahan, menumpuk jadi
satu, terakumulasi lantas membendung. Akhirnya, bendungan itu harus
jebol hari ini.
Dalam kamar, sesuatu telah
mengantarkanku pada peristiwa yang telah kualami sebelumnya.
Menyelinap masuk begitu saja. Perasaan sesak tak ayal membuat tidurku
tak nyenyak kali ini, namun untuk membuka mata rasanya tak sanggup.
Hidup segan mati pun tak mampu.
Pintu kamar terdengar berderit
terbuka. Suara derap kaki melangkah mendekat. Itu pasti mama. Ada
harapan untuk bangun, mama pasti membangunkanku. Ah, masih susah
bangun, bahkan menggoyangkan tangan untuk minta bantuan. Hanya mata
menyipit tanpa suara dan gerakan. Aku masih memaksa bergerak mencoba
keluar dari himpitan, nafasku berat tertahan. Inikah namanya
kelindihan.
“Rena
sayaaang, bangun yuk!” suara halus mama seketika membuatku
tersentak bangun. Mataku terbuka dengan nafas tersengal, keringat
dingin mengucur di keningku. Sepertinya aku mimpi maraton.
“Masyaalloh,
kenapa kamu sayang?” mama mengusap keningku yang berkeringat.
“Kamu
demam, pasti kecapekan. Mama buatin susu, oke?” tawaran yang bagus
pikirku, aku mengangguk Lesu.
Akhir-akhir ini aku memang
begitu capek. Mengurus restoran sendiri. Dini, manajerku-- yang
sebelumnya mengajukan cuti karena ingin menikah, tiba-tiba
mengundurkan diri tidak lama setelah Dimas meninggal. Hal ini tentu
membuat urusan di restoranku kacau. Disaat aku mengalami kesedihan
yang mendalam, tidak punya semangat bekerja, aku harus mengurus
manajerial sendiri dan tetap memasak di restoran karena belum
menemukan koki sebagai penggantiku. Tapi untunglah assisten koki di
restoranku cukup tahu karakter masakan yang kuinginkan, tentu ini
yang menjadi ciri khas restoranku.
Dadaku masih bergejolak namun
perlahan nafasku mulai teratur. Mataku menerawang ke luar jendela,
silau. Matahari sudah setinggi ini rupanya.
“Ini
minum dulu, sayang..” Aku kaget, terjaga dalam sadar.
“Terima
kasih...”, jawabku singkat. Aku langsung meminum susu itu dengan
tegukan secepat mungkin sambil mengarahkan bola mata ke arah mama
yang penampilannya telah rapi namun tak bisa menyembunyikan lengkung
hitam bawah matanya. Tanda capek yang tak terhingga.
“Mama
mau pergi ke kantor Bu Ratih, pengacara mama”. Aku mengangguk. Mama
berdiri. Ku arahkan tanganku menjabat tangan mama lantas menciumnya.
Sebelum punggung mama lenyap, ku susul dia.
“Ma,
tunggu! Rena temenin mama, ya?”
“Kamu
gak ke restoran?”, aku menggeleng. Mama memperhatikan penampilanku.
“Kalau
begitu kamu perlu ke dokter, sayang. Kamu bisa minta beberapa resep
atau vitamin yang bisa membuatmu lebih bergairah untuk selalu
menemani mama”, kali ini kedua tangannya mampir ke pipiku,
membuatku menatap lurus bola mata mama. Ah, mama. Seharusnya mamalah
yang butuh istirahat.
“Rena
antar mama, oke! Tunggu sepuluh menit ya ma?”. Hanya dengan
menggosok gigi dan cuci muka lantas kuganti bajuku. Aku atur rambutku
sedemikian rupa dengan sisir, sret sret! Kuambil kunci mobil dan
meluncur..
Kantor
Advocate. Kematian Dimas
Perlu 30 menit untuk sampai
kantor Bu Ratih. Di ruangan Bu Ratih sudah menunggu 2 orang,
sepertinya tim pengacara Bu Ratih. Seorang perempuan berkacamata dan
berjilbab yang usianya terlihat lebih muda dari Bu Ratih. Yang
laki-laki, sepertinya aku pernah bertemu. Aku menjabat tangan ketiga
orang di ruangan itu.
“Kamu
pasti Rena, kan?” tanya laki-laki itu. Aku mengangguk.
“Saya
Bagas...”, ucapnya sambil tersenyum. Aku menatap mama. “Om Bagas,
teman papa” kata mama. Oh, Dimas suka sekali menceritakan orang
ini, tapi kenapa dulu Dimas gak cerita kalau orang ini juga seorang
pengacara.
Aku dan mama mendengar
penjelasan Bu Ratih tentang hasil autopsi dan tes laboratorium
jenazah Dimas. Seperti yang dijelaskan Bu Ratih sebelumnya di
telpon, bahwa ada kemungkinan Dimas meninggal bukan karena serangan
jantung, tapi dibunuh. Kenyataan terpahit yang harus kami terima.
Saat peristiwa itu, aku dan
mama yang sedang berada di Singapura mendapat kabar dari pembantu
kami bahwa Dimas dibawa ke rumah sakit karena serangan jantung. Dimas
memang punya penyakit jantung. Kami yang saat itu tidak mungkin
langsung pulang ke Bogor, minta tolong Dini untuk menjenguk Dimas dan
mengabarkan kepadaku tentang perkembangannya. Mama sendiri lega
karena Om Sulthan juga menemani Dimas di rumah sakit. Namun pembantu
kami menambahkan bahwa sempat terjadi adu mulut antara Dimas dan Om
Sulthan.
Om Bagas yang saat itu diminta
Dimas untuk mampir ke rumah, menjadi saksi dan membenarkan hal
tersebut. Om Bagas melihat Dimas keluar kamar sambil membanting pintu
sangat keras, lalu keluar rumah menuju mobil. Melihat kejadian itu,
Om Bagas menyusul Dimas. Begitu masuk mobil, Om Bagas mendengar Dimas
memaki.
“Dasar
Brengsek! Bajingan! Gue udah ngira kalo dia..... Argggh!” makian
Dimas berhenti, tangannya memegang dadanya erat-erat. Dimas pingsan.
Om Bagaslah yang melarikan Dimas ke rumah sakit.
Om Bagas yang juga cukup dekat
dengan Dimas karena hubungan bisnis, mengatakan bahwa Dimas pernah
bercerita tentang kecurigaannya terhadap Om Sulthan, karena
sebelumnya Dimas pernah memergoki om Sulthan mengambil sesuatu dari
brankas mama. Dimas yang tahu masalah ini, mencoba menanyakan
baik-baik pada mama untuk mengecek surat berharga perusahaan. Mama
yang tidak percaya justru memarahi Dimas. Dimas juga berusaha
menceritakan kepadaku tapi karena kesibukanku di restoran sehingga
kami jarang bertemu. Jadi, Dimas hanya bisa bercerita kepada Om
Bagas.
Mama
yang akhirnya sadar setelah kematian Dimas, mencoba mengingat-ingat
bahwa Om Sulthan juga pernah meminta mama membeli tanah yang cukup
luas di Jakarta atas nama Om Sulthan. Bukan hanya sekali. Mama yang
sudah terlanjur percaya hanya bisa menuruti tanpa sempat curiga
karena mama terlalu sibuk.
“menurutku,
kita harus mencari manajer kamu, Ren?” Om Bagas memecah keheningan.
“maksud
Om, Dini terlibat?”, tanyaku tak mengerti
“Bukan
terlibat secara lagsung, mungkin dia bisa memberi keterangan apapun
yang telah terjadi selama dia menjenguk Dimas”. Aku mengerti maksud
Om Bagas, karena Dini sering di rumah sakit. Sering bertemu Om
Sulthan juga tentunya.
“Pak
Bagas benar, Bu”, kata Bu Ratih pada mama.
“Awalnya
kami berpikir Dimas diracun, tapi mengingat hasil laboratorium
negatif, jadi kemungkinan Dimas dibunuh dengan cara lain”
Dari
keterangan mereka, sampai sejauh ini, aku masih belum mengerti
mengapa mereka sampai pada kesimpulan bahwa Dimas dibunuh. Aku yang
masih belum bisa merangkai semua kejadian itu mencoba bertanya.
Om
Bagas menjawab, ”Sehari sebelum Dimas meninggal, aku berada di
rumah sakit untuk menjenguknya dan menemui dokter. Dokter bilang,
keadaan Dimas sudah stabil dan lusa bisa pulang”.
Benar saja, waktu itu kami
yang baru datang dari Singapura dan ingin menjenguk Dimas, terkejut
setengah mati ketika pihak rumah sakit memberitahu bahwa Dimas
meninggal, padahal sehari sebelumnya Dini mengabarkan bahwa Dimas
sudah sehat.
“Kapan
manajer kamu mengundurkan diri, Ren?” kali ini Bu Ratih bertanya
Seingatku
sehari setelah kematian Dimas. Deg! Jantungku berdetak lebih keras.
Pengunduran diri Dini memang terkesan mendadak dan ganjil. Saat
mengundurkan diri ia tidak datang ke kantor melainkan via telpon.
sampai sekarang Dini tak bisa kuhubungi.
Setelah perbincangan kami di
kantor bu Ratih, mama lebih sering termenung. Entahlah apa yang saat
ini mama pikirkan. Aku tak berani menanyakan. Mungkin mama sedang
menyesali sesuatu, ketidakpercayaannya terhadap Dimas. Aku sendiri,
jangan ditanya bagaimana benciku pada Om Sulthan. Orang yang aku kira
telah menggantikan sosok papa ternyata berencana licik. Menggondol
hampir separuh harta kami dan lari entah kemana. Aku menjadi tahu apa
yang mama rasakan saat ini. Ternyata pernikahannya dengan mama hanya
kedok, karena terakhir dikatahui perusahaan Om Sulthan sendiri telah
kolaps. Aku ingin bajingan itu ditemukan dan mengembalikan semua
harta papa. Lebih dari itu, dia harus mempertanggungjawabkan apa yang
telah dilakukannya pada Dimas.
Kamar
rumahku
Drrtttt
drrrttt.. Hpku bergetar. 1 pesan masuk.
“Rena,
udh dpt kbr dr Dini? .Bagas”
oh,
sms dari om Bagas. Segera kubalas.
“blm
ada kbr om, No’nya gak aktif. Aq udh krmhnya tpi ksg”
OmBagas:
“sbar y
Rena Oya, aku dr kntor plisi. Bsk mama km dihrp ke kntor plisi
untk lporn sklgs mmbri kterangan ttg srt2 prshaan”
Aku:
“baik
om, terima kasih om.”
omBagas:
“kalo
ada apa2 jgn sgkan hbgi aku..”
aku:
“baik
om, sekali lagi terima kasih”
omBagas:
“jgn
formal gitu dong ren sama aku ”
Segera aku ke kamar mama,
menyampaikan pesan Om Bagas. Ternyata mama sudah tahu dari Bu Ratih.
Aku membantu mama menyiapkan dokumen yang perlu dibawa ke kantor
polisi. Sejauh ini, bukti-bukti bahwa Om Sulthan kabur membawa surat
berharga dan sejumlah uang telah lengkap. Hanya bukti bahwa dia juga
pembunuh Dimas belumlah cukup. Semua perlu dibuktikan dengan adanya
saksi walaupun semua dugaan mengarah padanya.
“ma...”
kataku lirih sambil memeluk mama dari belakang. “maafin Rena ya,
ma..”
“maaf
buat apa, sayang” mama membalikkan tubuhnya ganti memeluk aku,
hangat.
“Rena
gak bisa jadi anak yang baik buat mama dan kakak yang baik buat
Dimas” tangisku tersembunyi di dada mama. Mama membelai kepalaku,
seolah mengatakan agar aku tenang.
2
minggu berselang. I think, one step closer
Merasa frustasi untuk
menemukan Dini yang menurut Bu Ratih menjadi saksi kunci atas
terbunuhnya Dimas, aku dan mama hanya bisa berdoa agar masalah ini
diperlancar. Syukurlah, Tuhan mengabulkan doa kami. Mendengar pintu
rumah diketuk, aku segera membukanya. Dini berada di depan pintu
rumahku. tiba-tiba dia merangkulku dan menangis. Setelah meminta maaf
padaku dan mama, dia mengatakan maksud kedatangannya yaitu untuk
memberi keterangan perihal kematian Dimas.
Saat itu, Dini berada di rumah
sakit menjenguk Dimas. Karena Dimas masih tidur, dia pun memutuskan
untuk pergi ke kantin rumah sakit. Sesampainya dari kantin, Dini
melihat dua orang berada di dalam kamar Dimas, satu orang sedang
memegang kedua tangan Dimas dengan kuat dan satu orang lainnya, yang
ternyata adalah Om Sulthan, membekap Dimas dengan bantal hingga
Dimas kekurangan oksigen dan meninggal. Dini mencoba berteriak
mencari bantuan, tapi keburu ketahuan Om Sulthan. Om Sulthan memberi
Dini cek dengan sejumlah uang agar dia tidak melaporkan masalah ini
ke polisi. Namun Dini keluar dari pekerjaan dan menghilang bukan
karena cek tersebut, tapi karena Om Sulthan terus menerus meneror dan
mengancam akan membunuhnya.
Bersambung >>
Related Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: