"Kurasakan tubuhku dikuasai keringat dingin yang semakin menjalar dan perlahan membunuh kesadaranku"
Sore ini aku dan
Banyu berjanji akan bertemu di ujung jembatan di akhir perbatasan
desa ini. Senang sekali rasanya ketika aku tengah duduk di pinggir
jembatan menghadap ke utara searah dengan aliran sungai dan
menggantungkan kakiku. Disampingku ada Banyu, ia terlihat tampan
dengan setelan santai kaus berkerah dan celana jeans pendek selutut.
Begitu santai. Jantungku bergegub dengan ritme yang tak terlalu
teratur sama seperti degub jantungku ketika pertama kali bertemu
dengannya. Dari awal aku bertemu dengannya hingga sekarang degub ini
selalu sama, tak sedikitpun terasa berbeda.
“Tumben kamu
bisa bebas keluar rumah, Mei?”
“Aku kabur…”
candaku menjawab pertanyaannya.
Selanjutnya kami
hanya mengobrol dan saling bertukar cerita tentang bagaimana
kuliahku, tentang keluargaku, Bibi Han, lalu tentang Banyu dan
keluarganya, atau tentang betapa lucunya anak kecil yang baru bisa
merangkak, tentang impian-impian kami, kemudian tentang bagaimana
kondisi Indonesia saat ini, bahkan tentang rumah impian kami, dan
arah pembicaraan kami kembali mengarah pada Bibi Han.
Astaga, aku
melupakan pekerjaanku untuk mengemas ratusan bungkus terasi yang bau
tengik itu. Setelah menyadari akan hal itu, aku segera melenggang
pulang meninggalkan pesona jingga di angkasa barat ketika sang surya
akan beristirahat, untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang ku tunda
itu. Sekembalinya aku dari pertemuanku dengan Banyu, tak kutemui Bibi
Han di seluruh pelosok rumah dan rumah nampak lengang. Hanya ada
Lina, salah seorang orang pegawai Bibi, yang nampak masih sibuk
membereskan ruang tamu dan ruang tengah─dengan menggeser meja dan
kursi ke tepi ruangan. Aku heran dengan kondisi seperti ini, tak
seperti biasa. Aku menghampirinya, ia nampak sedikit terkejut ketika
ku tepuk pelan bahunya. Seolah tahu akan ditanya apa, ia langsung
menceritakan kronologi sebuah kejadian yang sesungguhnya tak terduga,
raut mukanya memancarkan mimik duka yang mendalam.
Aku lunglai,
terkulai lemas diatas lantai. Lina lalu merengkuh tubuhku yang nyaris
terkapar dan membimbingku menuju sofa di salah satu sudut ruangan
ini. Ia mendudukanku di atas sofa, selanjutnya ku lihat dia berlari
menuju dapur dengan sangat panik. Kurasakan tubuhku dikuasai keringat
dingin yang semakin menjalar dan perlahan membunuh kesadaranku. Aku
berusaha tetap terjaga saat berusaha meyakinkan jiwaku─yang hampir
melayang─untuk menerima kenyataan ini.
***
Beberapa bulan
yang lalu aku nyaris kehilangan kesadaranku ketika berita kepergian
Bibi Han telah sampai kepadaku melalui perkataan lembut remaja
belasan tahun ─yang bernama Lina─ itu. Aku masih tak bisa
membiarkan hati dan jiwaku untuk percaya begitu saja, bahwa Bibi Han
telah dengan tenang di peristirahatan paling terakhirnya. Namun, aku
harus sadar perasaan yang demikian itu muncul karena aku begitu
menyayanginya, rasa sayang untuknya setara akan rasa sayangku kepada
ibuku sendiri.
Walaupun semasa
hidupnya ia dikenal sebagai pribadi yang sangat cerewet oleh semua
orang, bahkan olehku. Sesungguhnya, dibalik semua sikapnya yang
demikian tersimpan pribadi lembut seorang ibu. Jauh di dalam hatinya,
bibi Han tak lebih hanyalah seorang single parent yang selama hampir
10 tahun berjuang membesarkan dua hal yang amat berharga bagi
hidupnya, yaitu dua orang jagoan ciliknya dan toko kelontong warisan
kakek dan nenek. Aku bisa memetik berbagai pelajaran tentang hidup
dari Bibi, dimana kesemuanya tak bisa ku pelajari di sekolahan atau
bahkan di perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu. Pelajaran hidup
mengenai keuletan, kegigihan, kesabaran, dan juga cinta kasih yang
disertai dengan cita-cita.
Kini sosok itu
telah hilang dari semua perihal duniawi. Ia tengah tenang dengan
tanah sebagai selimut, tirai, bantal-guling, serta tempat pembaringan
yang akan membawanya abadi di alam akhirat.
Aku begitu
merindukan sosok Bibi Han. Rindu yang amat sangat dalam, hingga tak
bisa diungkapkan hanya dengan beberapa baris kata. Toko kelontong itu
sekarang seolah tanpa nyawa, walau masih terus berjalan dan
berkembang dibawah asuhan tangan dingin anak kedua Bibi Han, abang
Resa. Aku masih tetap meluangkan waktuku di tiap-tiap hari libur
untuk sekedar mengunjungi rumah Bibi. Yang sesungguhnya kucari adalah
sisa-sisa keberadaan Bibi Han yang mungkin masih bisa ku nikmati
dalam diam memendam rindu padanya. (Risma Lida Uliyani - ngantang.com)
0 komentar: