Rabu, 20 Februari 2013

I Love You, Om - Part 1

Oleh Wong Ngantang - Rabu, Februari 20, 2013 | 0 comments



Awal Februari 2012. Dimas, my Lovely Brother
Drrrttt ddrrrrt drrrrrtt drrrrttt ... Hp ku bergetar. Telpon masuk. Langsung kuangkat.
“ya, siapa?”
“Gue”
“Dimas! Kemana aja lo? Pulang Dim, please, kasihan mama...” ucapku sambil berharap agar dia pulang setelah ‘kabur’ dari rumah.
“Tenang dong. Gue di kantor Om Bagas, nih..” om Bagas adalah Partner bisnis sekaligus teman baik almarhum papa.
“Elo di Solo? Ngapain? Kerja?”
“Mama telpon gue beberapa hari yang lalu. Minta tolong buat ngurus bisnis properti yang masih ada kerja sama dengan perusahaan om Bagas. Sebenarnya gue males banget, Ren. Ini kan tanggungan om Sulthan..” jelas Dimas
“Ya udahlah Dim, bantuin mama buat menata perusahaan papa. Mungkin om Sulthan lagi sibuk, kan dia punya perusahaan sendiri di Jakarta. Jadi wajar kalau mama minta tolong lo..”
“Elo sendiri dimana, jangan bilang malam-malam begini masih di resto?”
“Harusnya elo bersyukur kalo gue pulang malam, itu tandanya resto gue laku! Gimana sih lo? Ini juga mau balik kok”
“Bagus deh. Lo jangan suka pulang malam dari resto. Temenin mama. Sering-sering tanyain mama gimana keadaan kantor. Jangan bla bla bla...”
Dimas.. dimas... sebagai kakak, gue pasti ngerti apa yang harus gue lakuin. Tapi kali ini tiba-tiba Dimas, adik gue, menjadi lebih dewasa dari pada gue. What’s going on..

Setelah enam bulan yang lalu papa meninggal, suasana rumah sungguh berbeda. Tentu saja, karena semua berubah menjadi duka. Papa yang selalu mengisi atmosfir kebahagiaan dengan hangatnya perhatian tak lagi ada disampingku. Dimas, mendadak tak bernafsu melakukan apapun. Panggilan kerja dari Jepang yang selama ini dia impikan ditelantarkannya begitu saja. Papa meninggal tanpa wasiat apapun, tak heran mama yang dari awal mendampingi papa, merasa bertanggung jawab atas perusahaan yang bertahun-tahun dibangun papa. Perasaan antara kehilangan suami dan rasa tanggung jawab atas masa depan perusahaan membuat mama dilema. Tak jarang mama harus pulang malam karena pekerjaan ini.
Aku yang merasa kasihan dengan keadaan mama malah tak bisa melakukan apa-apa. pernah suatu kali mama memintaku mengurus perusahaan papa, tapi aku tak punya keahlian manajemen. Restoran cina milikku saja bukan aku manajernya tapi Dini, sahabatku. Sedang Dimas dengan segudang kepintarannya justru sibuk dengan dunia otomotif. Walaupun sempat menolak ajakan mama untuk membantu mengelola perusahaan, akhirnya luluh juga hatinya.
“halo Ren? Ren! elo dengerin gue kan?”
Gue nglamun “iya denger! Lo jadi sok perhatian gini sih..”
“gue khawatirin mama, Ren. Lo juga jangan pacaran terus lah sama sii.. siapa itu, pacar lo? Udah putusin aja cowok lo itu”. Dimas lama-lama ngeselin...

Pertengahan Juli 2012. It’s over, Sam!
Setengah jam lebih aku menunggu kedatangan Samy di kafe yang sudah kita sepakati untuk bertemu. Air putih 2 gelas pun sudah kuteguk habis. Pelayan menghampiriku untuk menawarkan pesanan tapi aku bilang masih menunggu teman. Aku hubungi hp Samy, tak ada jawaban. Aku mengutuknya dalam hati karena keterlabatan ini. Tega sekali dia membiarkan aku, pacarnya, menunggu terlalu lama tanpa kabar. 45 menit berlalu. Tak jauh dari tempat dudukku, lelaki berkemeja hitam-putih motif kotak-kotak menghampiriku sambil melambaikan tangan. Aku acuh. Aku mencoba mengingat-ingat kalimat yang telah kususun rapi.
“Sory Ren, tadi ada hiburan gratis di jalan. Seorang model tabrakan. Sayang banget kalau gue gak mampir dan memotretnya. Lo belum pesen minum?”
Awal pertemuan macam apa ini? Pertama kali bertemu pacar setelah lama tidak bertemu, tidak bertanya kabar, tidak minta maaf dengan penuh empati, malah... dan oh, apa tadi dia bilang, memotret kecelakaan? Tidak salah lagi, selama 2 tahun aku pacaran dengan psikopat! Tak mengapa dia terlambat menemuiku, bila harus membantu kecelakaan itu. Tapi memotretnya? Oh Tuhan..
“Halooo Ren, kok bengong? Elo gak merasa gue tambah ganteng kan setelah lama gak ketemu?” Samy tertawa. masih bisa tertawa.
Waiter mengantar pesanan yang telah kupesan beberapa menit yang lalu sebelum Samy datang. Aku memesan orange jus dan kopi untuk Samy.
“Tengkyu kopinya. So, mau ngomong apa kita, sayang?”, kutahan emosiku untuk segera minta putus tanpa prolog dahulu.
“Elo kemana aja selama lima bulan ini? Elo gak merasa punya pacar yang harus lo kasih kabar atau lo tanyain kabarnya?”, kutatap Samy yang sedang mengaduk kopinya lantas menatapku.
“Jadwal gue udah diatur di Lombok, Ren. Gue gak bisa ninggalin kerjaan gitu aja, untuk hal-hal yang gak ada hubungannya sama kerjaan”. Samy meneguk kopinya..
“Adik gue meninggal emang gak berhubungan dengan pekerjaan lo, tapi apa itu bukan alasan penting buat lo nemuin gue?”
“gue minta maaf” ucap Samy. “gue menyesal gak bisa datang langsung ke pemakaman Dimas. Gue turut berduka cita...” tangannya mencoba menggapai tanganku lantas kutepis.
“Tapi paling gak lo nelpon gue lah.. nanyain keadaan gue sama mama. Bukan sekedar menulis pesan prihatin dan malah menjelaskan tentang bagaimana sibuknya lo disana”, kataku mangkel
“Gue pikir kita udah sepakat tentang kesibukan kita masing-masing. Dan ini kuasa Tuhan, Rena, untuk setiap saat mengambil nyawa seseorang. Gue yakin lo kuat, kok!”
Aku tak kuasa menahan air mataku, menangisi kebodohanku untuk bisa bertahan selama 2 tahun bersamanya. Tiba-tiba aku teringat kata Dimas: kok Lo tahan sih Ren, pacaran sama es batu. Udah keras, dingin, gak pernah perhatian sama lo! Atau kalimatnya yang ini: jangan-jangan dia macarin lo cuma butuh status aja. Atau yang satu ini: workaholic apa Renaphobia sih, si Samy itu?
“Paling tidak lo lebih sensitif mengerti permasalahan gue sekarang, dukung gue supaya kuat dihadapan mama. Bukan seperti ini. Bertemu setelah gue merengek minta ketemuan”.
“Lantas gue harus gimana? Harus ikut menangis dan meratapi takdir kaya’ elo? Dewasa dong, Ren! Hidup harus tetap berjalan” Samy menyalakan rokoknya, menghirupnya dalam-dalam. Aku benci pemandangan ini, asap rokok.
Hidup memang harus terus berjalan Sam, dengan atau tanpa kamu.
“ada kabar yang perlu lo tahu, walau gue gak yakin hal ini penting atau gak buat lo. Dimas meninggal bukan karena serangan jantung, tapi.. ah, sudahlah!”. Kutahan kalimatku untuk memberitahu Samy tentang kematian Dimas karena menurutku ini tidak akan penting buat Samy. Aku masih mencoba agar Samy merasakan himpitan hatiku namun sepertinya percuma.
Kulambaikan tanganku ke arah pelayan tanda ingin mengakhiri pertemuan kami dengan membayar minuman yang kupesan.
“Lo mau kemana, Ren?”
“Seperti yang lo bilang, kita sudah dewasa. Tidak akan masalah bila mulai saat ini kita urusi urusan kita sendiri-sendiri”, aku beranjak pergi setelah menaruh beberapa rupiah di meja.
“Lo minta putus? Lo nyuruh gue datang kesini Cuma buat ngomong itu?” Tangannya menggenggam pergelangan tanganku. Aku ingin mengatakan bahwa awalnya aku ingin mengemis perhatian darinya, mengingatkan bahwa aku ini kekasihnya. Namun memperlihatkan bahwa aku kecewa bukan hal yang tepat.
“Gue gak mau aja ngrepotin lo lebih sering, Sam” jawabku sambil melepaskan genggamannya.
---------------------------------------------------------
Kuluncurkan mobilku pulang ke arah puncak dengan kecepatan tinggi. Namun percuma, weekend seperti ini puncak selalu dipenuhi orang-orang yang menghabiskan liburan untuk berkumpul bersama keluarga, sahabat, atau pacar. Berpaling sejenak dari kesibukan bekerja. Begitu juga aku saat ini. Sangat ingin melupakan kejadian yang telah kualami, berharap ini hanya mimpi.
Macet tak terhingga memadati jalur puncak, padat merayap. Seperti kehidupanku saat ini, terasa berjalan begitu lambat. Lengkap sudah penderitaanku. Papa meninggal, selang beberapa bulan disusul Dimas! Dan hari ini aku putus dengan Samy. Tapi sungguh, aku tak menyesali kejadian yang terakhir ini. Pacaran atau tidak dengannya, bagiku tidak ada bedanya. Aku harus fokus pada keluarga dan bisnisku.
Lamunanku berhenti setelah sadar bahwa kemacetan ini tak kunjung berakhir. kuputuskan menepikan mobil di warung tenda pinggir jalan. Aku memesan mie instan dan teh botol. Menikmati mie instan kembali mengingatkanku pada Dimas. Dia hobi sekali makan mie. Dimas sempat menghilang beberapa bulan setelah tahu mama memutuskan ingin menikah lagi. Dimas sangat mencintai papa sampai tak rela posisi papa digantikan dengan siapapun. Aku sendiri merasa bahagia ketika mama memutuskan ingin menikah lagi, karena akhirnya mama kembali menemukan gairah hidup bersama Om Sulthan, papa tiriku. Mama menjadi lebih bersemangat bekerja dan bisa membagi waktu. Mama dan Om Sulthan dulu adalah sepasang kekasih. Mereka harus berpisah karena mama telah dijodohkan dengan papa. Kebahagian yang aku rasa hampir sempurna setelah pernikahan kedua mama, tiba-tiba menjadi begitu hampa karena Dimas tak ada lagi disisiku.

Bersambung >>

Related Post



0 komentar:

Blogger Template by Clairvo