Minggu, 25 November 2012

Bibi Han ( Part 2 )

Oleh Wong Ngantang - Minggu, November 25, 2012 | 0 comments

Lanjutan Bibi Han part 1
"Kurasakan tubuhku dikuasai keringat dingin yang semakin menjalar dan perlahan membunuh kesadaranku"


Sore ini aku dan Banyu berjanji akan bertemu di ujung jembatan di akhir perbatasan desa ini. Senang sekali rasanya ketika aku tengah duduk di pinggir jembatan menghadap ke utara searah dengan aliran sungai dan menggantungkan kakiku. Disampingku ada Banyu, ia terlihat tampan dengan setelan santai kaus berkerah dan celana jeans pendek selutut. Begitu santai. Jantungku bergegub dengan ritme yang tak terlalu teratur sama seperti degub jantungku ketika pertama kali bertemu dengannya. Dari awal aku bertemu dengannya hingga sekarang degub ini selalu sama, tak sedikitpun terasa berbeda.
“Tumben kamu bisa bebas keluar rumah, Mei?”
“Aku kabur…” candaku menjawab pertanyaannya.
Selanjutnya kami hanya mengobrol dan saling bertukar cerita tentang bagaimana kuliahku, tentang keluargaku, Bibi Han, lalu tentang Banyu dan keluarganya, atau tentang betapa lucunya anak kecil yang baru bisa merangkak, tentang impian-impian kami, kemudian tentang bagaimana kondisi Indonesia saat ini, bahkan tentang rumah impian kami, dan arah pembicaraan kami kembali mengarah pada Bibi Han.
Astaga, aku melupakan pekerjaanku untuk mengemas ratusan bungkus terasi yang bau tengik itu. Setelah menyadari akan hal itu, aku segera melenggang pulang meninggalkan pesona jingga di angkasa barat ketika sang surya akan beristirahat, untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang ku tunda itu. Sekembalinya aku dari pertemuanku dengan Banyu, tak kutemui Bibi Han di seluruh pelosok rumah dan rumah nampak lengang. Hanya ada Lina, salah seorang orang pegawai Bibi, yang nampak masih sibuk membereskan ruang tamu dan ruang tengah─dengan menggeser meja dan kursi ke tepi ruangan. Aku heran dengan kondisi seperti ini, tak seperti biasa. Aku menghampirinya, ia nampak sedikit terkejut ketika ku tepuk pelan bahunya. Seolah tahu akan ditanya apa, ia langsung menceritakan kronologi sebuah kejadian yang sesungguhnya tak terduga, raut mukanya memancarkan mimik duka yang mendalam.
Aku lunglai, terkulai lemas diatas lantai. Lina lalu merengkuh tubuhku yang nyaris terkapar dan membimbingku menuju sofa di salah satu sudut ruangan ini. Ia mendudukanku di atas sofa, selanjutnya ku lihat dia berlari menuju dapur dengan sangat panik. Kurasakan tubuhku dikuasai keringat dingin yang semakin menjalar dan perlahan membunuh kesadaranku. Aku berusaha tetap terjaga saat berusaha meyakinkan jiwaku─yang hampir melayang─untuk menerima kenyataan ini.
***
Beberapa bulan yang lalu aku nyaris kehilangan kesadaranku ketika berita kepergian Bibi Han telah sampai kepadaku melalui perkataan lembut remaja belasan tahun ─yang bernama Lina─ itu. Aku masih tak bisa membiarkan hati dan jiwaku untuk percaya begitu saja, bahwa Bibi Han telah dengan tenang di peristirahatan paling terakhirnya. Namun, aku harus sadar perasaan yang demikian itu muncul karena aku begitu menyayanginya, rasa sayang untuknya setara akan rasa sayangku kepada ibuku sendiri.
Walaupun semasa hidupnya ia dikenal sebagai pribadi yang sangat cerewet oleh semua orang, bahkan olehku. Sesungguhnya, dibalik semua sikapnya yang demikian tersimpan pribadi lembut seorang ibu. Jauh di dalam hatinya, bibi Han tak lebih hanyalah seorang single parent yang selama hampir 10 tahun berjuang membesarkan dua hal yang amat berharga bagi hidupnya, yaitu dua orang jagoan ciliknya dan toko kelontong warisan kakek dan nenek. Aku bisa memetik berbagai pelajaran tentang hidup dari Bibi, dimana kesemuanya tak bisa ku pelajari di sekolahan atau bahkan di perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu. Pelajaran hidup mengenai keuletan, kegigihan, kesabaran, dan juga cinta kasih yang disertai dengan cita-cita.
Kini sosok itu telah hilang dari semua perihal duniawi. Ia tengah tenang dengan tanah sebagai selimut, tirai, bantal-guling, serta tempat pembaringan yang akan membawanya abadi di alam akhirat.
Aku begitu merindukan sosok Bibi Han. Rindu yang amat sangat dalam, hingga tak bisa diungkapkan hanya dengan beberapa baris kata. Toko kelontong itu sekarang seolah tanpa nyawa, walau masih terus berjalan dan berkembang dibawah asuhan tangan dingin anak kedua Bibi Han, abang Resa. Aku masih tetap meluangkan waktuku di tiap-tiap hari libur untuk sekedar mengunjungi rumah Bibi. Yang sesungguhnya kucari adalah sisa-sisa keberadaan Bibi Han yang mungkin masih bisa ku nikmati dalam diam memendam rindu padanya. (Risma Lida Uliyani - ngantang.com)

Related Post



0 komentar:

Blogger Template by Clairvo