"Kedatanganku kesini dalam rangka mengobati rindu hatiku yang sudah mencapai stadium hampir akhir. Nyaris berada diambang koma"
Malam ini semakin mengental dengan taburan gemintang di luasan angkasa yang sepenuhnya telah gelap. Tak ada rembulan yang menyembul diantara bintang-bintang itu. Jangkrik-jangkrik jantan di sekitaran pekarangan rumah masih setia mengerik dengan riangnya. Mereka mengerik untuk menarik perhatian para betina untuk kawin dengan mereka. Angin bertiup semilir, namun dinginnya mampu menembus hingga ke persendian. Mampu menggigilkan tubuhku. Malam ini sedikit hening, suasana sunyi lebih cepat merekah rupanya. Mungkin karena hari ini banyak orang yang telah lelah beraktivitas, sehingga sebagian besar orang lebih memilih untuk menghabiskan malam dalam lelapnya.
Lain halnya
dengan diriku yang masih menekuni pekerjaanku yang dari tadi sore
belum bisa kurampungkan. Pekerjaan mengemas gula pasir dalam ukuran
satu kilo, dan banyaknya gula yang harus aku kemas mencapai satu
karung yang isinya mencapai 500 kg. Ini merupakan pekerjaan yang
benar-benar menjenuhkan. Namun, dibalik lelah yang tercipta saat
harus menakar, memasukkan gula ke dalam plastik kemasannya, dan
menimbangnya dalam satuan kilo, tersirat pelajaran yang begitu baik,
yaitu rasa sabar dan telaten. Kedua sifat inilah yang beberapa bulan
ini kurasa sangat sulit untuk ku terapkan dalam hidupku. Padahal
kedua sifat ini sangat ku butuhkan demi keutuhan long distance
relationship-ku dengan Banyu, yang tinggal berbeda kota denganku.
Tiga bulan sudah
kami masih bertahan dengan menahan rindu yang tiada berkesudahan ini.
Namun untungnya, intensitas mengobrol via telepon kami masih bisa
dibilang baik. Setidaknya kami tidak pernah lost contact.
Cerita punya
cerita, sebenarnya aku ini adalah orang yang paling tidak kerasan
dengan hubungan jarak jauh seperti ini. Entah karena apa kali ini aku
begitu yakin bahwa aku akan sanggup bertahan, walau bentangan jarak,
ruang gerak bahkan kumparan waktupun seolah menggodaku untuk
menyerah. Terlebih lagi kalau godaan juga datang bukan hanya padaku,
namun juga pada Banyu. Hal itu akan jadi suatu hal diluar kuasaku.
Menyerah, bukan
kata yang ingin aku lakukan bila mengingat susah payah sudah aku
mempertahankannya hingga terhitung tiga bulan sudah semuanya
berlangsung. Aku ingin memetik buah yang manis dari kesabaranku
tersebut.
Kembali lagi
dengan pekerjaanku yang harus menyelesaikan bungkusan-bungkusan gula
itu. Sedikit lagi akan selesai. Dan kurasakan malam makin merambah
larut. Rasa kantuk mulai menjalari syaraf-syaraf mataku. Berkali-kali
sudah kelopak mataku terkatup begitu saja, lalu tersentak dan terjaga
lagi ketika bibi Han berdehem sedikit nyaring sambil melirikku ketus.
Itu tandanya aku harus bergegas menyelesaikan pekerjaan itu sebelum
para tengkulak mengambilnya untuk dibawa ke pasar esok pagi.
“Cepat kamu
selesaikan itu, Mei.”
“Iya.” aku
hanya mengiyakan perkataan Bibi yang tekesan memerintah bak seorang
diktator.
Lelah mulai
melemaskan otot-otot di kedua tanganku. Rasa tegang seolah memukul
telak tengkuk dan punggungku. Sudah saatnya tubuhku beristirahat.
Tiga hari berlibur dirumah bibi Han, yang kudapat hanya lelah. Tak
bisa sedikitpun aku beristirahat. Tapi ada yang kurang rasanya kalau
di hari libur aku tak berkunjung ke rumah bibi.
Bibi Han
merupakan anak sulung dari kakek dan nenekku. Artinya dia adalah
kakak dari ibuku. Setiap liburan aku pasti menginap di rumahnya
karena uang jajanlah alasan utamaku, selain ikhlas membantunya yang
seorang diri mengelola toko kelontong warisan kakek dan nenekku.
Usaha turun temurun yang sudah bertahun-tahun dikelola oleh keluarga
ibuku. Sudah seharusnya ada keturunan yang tetap melangsungkan usaha
ini. Dulu usaha kakek dan nenek hanya berupa toko kelontong
sederhana, namun berkat kegigihan bibi Han kini toko kelontong yang
dulunya dikenal reyot dan sudah sangat tua dimakan jaman, sekarang
menjadi agen berbagai barang dagangan.
Inilah yang
membuatku rindu ketika harus kembali menjalani rutinitasku. Walaupun
lelah tak terkira yang kudapat saat harus mengerahkan energi untuk
duduk berlama-lama membungkus berkilo-kilo gula atau tepung terigu,
atau betapa energiku terserap ketika harus mencerna dengan baik
berbagai celoteh memerintah dari bibi Han. Kadang kurasa bising dan
makin membuatku ingin menyerah dan berhenti menyelesaikan segala
pekerjaan yang mungkin tak bisa dibilang sepele itu. Namun disisi
lain omelan demi omelan itu ia lontarkan agar aku segera
menyelesaikannya, sehingga dapat dengan cepat beristirahat. Jadi, ku
ambil sisi baiknya saja. Lagipula bibi Han sebenarnya sangat
menyayangiku melebihi rasa sayangnya kepada toko warisan keluarga
besarku ini. Apalagi bibi Han hanya memiki dua orang anak yang
kesemuanya berjenis kelamin pria. Sehingga aku sudah dianggapnya
seperti anak kandungnya. Singkat kata bibi Han sangat menyayangiku
dan akupun demikian.
Usut punya usut,
kedatanganku kemari disetiap libur kuliah adalah karena Banyu
seorang. Kedatanganku kesini dalam rangka mengobati rindu hatiku yang
sudah mencapai stadium hampir akhir. Nyaris berada diambang koma.
Satu-satunya jalan untuk mengobatinya adalah dengan beberapa saat
saja menghilang dari kungkungan berkarung-karung gula dan tepung di
rumah bibi Han dan melenggang dari berondongan celoteh bernada tidak
puas dan memerintah, untuk sekedar membayar rasa hausku akan kasih
yang Banyu limpahkan padaku. Begitu munafik apabila aku ini bukan
orang yang lebay dalam percintaan, apalagi di usiaku yang baru saja
menginjak 19 tahun beberapa minggu yang lalu.
Sore ini aku dan
Banyu............
Mau tau
kelanjutannya...? Mau tau apa yang bakalan dilakuin bareng Banyu...?
Tunggu part duanya yaa... :D (Risma Lida
Uliyani-ngantang.com)
(LANJUTAN)
(LANJUTAN)
0 komentar: