Minggu, 18 November 2012

Bibi Han (Part 1)

Oleh Wong Ngantang - Minggu, November 18, 2012 | 0 comments

"Kedatanganku kesini dalam rangka mengobati rindu hatiku yang sudah mencapai stadium hampir akhir. Nyaris berada diambang koma"

Malam ini semakin mengental dengan taburan gemintang di luasan angkasa yang sepenuhnya telah gelap. Tak ada rembulan yang menyembul diantara bintang-bintang itu. Jangkrik-jangkrik jantan di sekitaran pekarangan rumah masih setia mengerik dengan riangnya. Mereka mengerik untuk menarik perhatian para betina untuk kawin dengan mereka. Angin bertiup semilir, namun dinginnya mampu menembus hingga ke persendian. Mampu menggigilkan tubuhku. Malam ini sedikit hening, suasana sunyi lebih cepat merekah rupanya. Mungkin karena hari ini banyak orang yang telah lelah beraktivitas, sehingga sebagian besar orang lebih memilih untuk menghabiskan malam dalam lelapnya.


Lain halnya dengan diriku yang masih menekuni pekerjaanku yang dari tadi sore belum bisa kurampungkan. Pekerjaan mengemas gula pasir dalam ukuran satu kilo, dan banyaknya gula yang harus aku kemas mencapai satu karung yang isinya mencapai 500 kg. Ini merupakan pekerjaan yang benar-benar menjenuhkan. Namun, dibalik lelah yang tercipta saat harus menakar, memasukkan gula ke dalam plastik kemasannya, dan menimbangnya dalam satuan kilo, tersirat pelajaran yang begitu baik, yaitu rasa sabar dan telaten. Kedua sifat inilah yang beberapa bulan ini kurasa sangat sulit untuk ku terapkan dalam hidupku. Padahal kedua sifat ini sangat ku butuhkan demi keutuhan long distance relationship-ku dengan Banyu, yang tinggal berbeda kota denganku.
Tiga bulan sudah kami masih bertahan dengan menahan rindu yang tiada berkesudahan ini. Namun untungnya, intensitas mengobrol via telepon kami masih bisa dibilang baik. Setidaknya kami tidak pernah lost contact.
Cerita punya cerita, sebenarnya aku ini adalah orang yang paling tidak kerasan dengan hubungan jarak jauh seperti ini. Entah karena apa kali ini aku begitu yakin bahwa aku akan sanggup bertahan, walau bentangan jarak, ruang gerak bahkan kumparan waktupun seolah menggodaku untuk menyerah. Terlebih lagi kalau godaan juga datang bukan hanya padaku, namun juga pada Banyu. Hal itu akan jadi suatu hal diluar kuasaku.
Menyerah, bukan kata yang ingin aku lakukan bila mengingat susah payah sudah aku mempertahankannya hingga terhitung tiga bulan sudah semuanya berlangsung. Aku ingin memetik buah yang manis dari kesabaranku tersebut.
Kembali lagi dengan pekerjaanku yang harus menyelesaikan bungkusan-bungkusan gula itu. Sedikit lagi akan selesai. Dan kurasakan malam makin merambah larut. Rasa kantuk mulai menjalari syaraf-syaraf mataku. Berkali-kali sudah kelopak mataku terkatup begitu saja, lalu tersentak dan terjaga lagi ketika bibi Han berdehem sedikit nyaring sambil melirikku ketus. Itu tandanya aku harus bergegas menyelesaikan pekerjaan itu sebelum para tengkulak mengambilnya untuk dibawa ke pasar esok pagi.
“Cepat kamu selesaikan itu, Mei.”
“Iya.” aku hanya mengiyakan perkataan Bibi yang tekesan memerintah bak seorang diktator.
Lelah mulai melemaskan otot-otot di kedua tanganku. Rasa tegang seolah memukul telak tengkuk dan punggungku. Sudah saatnya tubuhku beristirahat. Tiga hari berlibur dirumah bibi Han, yang kudapat hanya lelah. Tak bisa sedikitpun aku beristirahat. Tapi ada yang kurang rasanya kalau di hari libur aku tak berkunjung ke rumah bibi.
Bibi Han merupakan anak sulung dari kakek dan nenekku. Artinya dia adalah kakak dari ibuku. Setiap liburan aku pasti menginap di rumahnya karena uang jajanlah alasan utamaku, selain ikhlas membantunya yang seorang diri mengelola toko kelontong warisan kakek dan nenekku. Usaha turun temurun yang sudah bertahun-tahun dikelola oleh keluarga ibuku. Sudah seharusnya ada keturunan yang tetap melangsungkan usaha ini. Dulu usaha kakek dan nenek hanya berupa toko kelontong sederhana, namun berkat kegigihan bibi Han kini toko kelontong yang dulunya dikenal reyot dan sudah sangat tua dimakan jaman, sekarang menjadi agen berbagai barang dagangan.
Inilah yang membuatku rindu ketika harus kembali menjalani rutinitasku. Walaupun lelah tak terkira yang kudapat saat harus mengerahkan energi untuk duduk berlama-lama membungkus berkilo-kilo gula atau tepung terigu, atau betapa energiku terserap ketika harus mencerna dengan baik berbagai celoteh memerintah dari bibi Han. Kadang kurasa bising dan makin membuatku ingin menyerah dan berhenti menyelesaikan segala pekerjaan yang mungkin tak bisa dibilang sepele itu. Namun disisi lain omelan demi omelan itu ia lontarkan agar aku segera menyelesaikannya, sehingga dapat dengan cepat beristirahat. Jadi, ku ambil sisi baiknya saja. Lagipula bibi Han sebenarnya sangat menyayangiku melebihi rasa sayangnya kepada toko warisan keluarga besarku ini. Apalagi bibi Han hanya memiki dua orang anak yang kesemuanya berjenis kelamin pria. Sehingga aku sudah dianggapnya seperti anak kandungnya. Singkat kata bibi Han sangat menyayangiku dan akupun demikian.
Usut punya usut, kedatanganku kemari disetiap libur kuliah adalah karena Banyu seorang. Kedatanganku kesini dalam rangka mengobati rindu hatiku yang sudah mencapai stadium hampir akhir. Nyaris berada diambang koma. Satu-satunya jalan untuk mengobatinya adalah dengan beberapa saat saja menghilang dari kungkungan berkarung-karung gula dan tepung di rumah bibi Han dan melenggang dari berondongan celoteh bernada tidak puas dan memerintah, untuk sekedar membayar rasa hausku akan kasih yang Banyu limpahkan padaku. Begitu munafik apabila aku ini bukan orang yang lebay dalam percintaan, apalagi di usiaku yang baru saja menginjak 19 tahun beberapa minggu yang lalu.
Sore ini aku dan Banyu............
Mau tau kelanjutannya...? Mau tau apa yang bakalan dilakuin bareng Banyu...? Tunggu part duanya yaa... :D (Risma Lida Uliyani-ngantang.com)
(LANJUTAN)

Related Post



0 komentar:

Blogger Template by Clairvo